Momen lebaran tahun ini sepertinya akan berbeda dengan
lebaran tahun-tahun sebelumnya. Kami memutuskan untuk tidak mudik ke kampung
halaman, Tulungagung. Kebetulan kami berdua berasal dari kota yang sama. Jadi
ya mudiknya satu tujuan.
Kebetulan lagi, saya dan suami sama-sama berasal dari keluarga
besar. Maklum, orang jaman dulu, punya anak bisa selusin. Di keluarga bapak,
setiap kumpul, ada sekitar 30an orang. Sedangkan keluarga suami lebih dari 40
orang.
Hidup di dua keluarga besar itu menyenangkan. Apalagi kalau
bisa berkumpul bersama saat lebaran tiba. Semua orang pasti punya cerita
masing-masing untuk dibagikan. Ngobrol gayeng sambil makan makanan khas kampung
halaman.
Bani sholeh |
Sayang, tahun ini, sepertinya momen itu akan beralih ke
digital. Silaturahmi via video call. Pandemi virus covid-19 masih berkeliaran. Kurva
penderita belum meunjukkan tanda-tanda melandai. Pemerintah masih melakukan Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah. Himbauan untuk tidak mudik
juga dilakukan guna menekan angka penderita.
Praktis, angan-angan untuk berkumpul dengan keluarga besar
saat lebaran nanti perlahan sirna.
Nah, sebagai pengobat rindu, saya mau menulis tentang tradisi
unik bersama keluarga besar saat lebaran. Tombo kangen! Apa saja?
1. Tidur Depan TV
Ini biasa dilakukan di keluarga suami. Saudara jauh dari
Jakarta berkumpul di rumah buyut, ibunya ibu suami. Tempatnya luas. Tahu kan
rumah orang jaman dulu, lega banget. Meskipun, rumah buyut ini sudah lebih
modern dibanding rumah teman sebayanya.
Saat malam tiba, anak-anak yang masih balita mendapat tempat
di kamar beserta ibunya. Sementara yang lain, menggelar selimut tebal atau kasur
spon di depan tv.
Kenapa? karena depan tv adalah tempat paling luas diantara
ruangan lainnya. Jadi cukup klo dipakai tidur untuk 30an orang. Sambil nonton
tv sampai ketiduran.
Duh, tahun ini mustahil kan dilakukan. Apalagi Jakarta masih
masuk zona merah sejak covid-19 ditemukan ada Maret lalu. Praktis saudara dari Jakarta
juga gak mudik.
Padahal, bulan lalu, mbah buyut bahkan sudah siap-siap
menyediakan lauk untuk semua keluarga. Ternak lele. Bukan untuk dijual. Tapi untuk
persiapan lebaran tahun ini. Belakang rumah mbah ada lahan kolam besar untuk
beternak ikan. Tahun lalu, ada ikan gurame. Tahun ini, ikan lele.
Sayuran juga sudah ditanam di kebun belakang. Ah, hidup di
desa tu memang gak perlu takut kelaperan ya. Butuh apa tinggal ambil di pekarangan.
Sungkem sama mbah buyut. Kirim ke sidoarjo aja lah mbah ya… hehehe…
2. Angpao
Ini tradisi paling ditunggu anak-anak. sebelum menikah, saya
juga menunggu momen ini wkwkw. Setelah menikah, sayapun ikut memberikan angpao
untuk anak-anak. Isinya biasanya 10 sampai 20 ribu. Dibungkus amplop lucu-lucu.
Amplop angpau tahun lalu |
Anak-anak selalu menunggu momen ini setelah sungkem dan
bersalaman seluruh anggota keluarga. Kadang, yang sudah gede bisa cosplay jadi
anak-anak untuk mendapatkan angao. Caranya, ikut antri di barisan anak-anak
sambil berdiri pakai dengkul. Jadi tingginya miri anak-anak.
Ini biasanya berhasil klo pas simbah yang kasih angao. Soalnya
penglihatannya sudah berkurang. Jadi asal ikut barisan, bakal dapet angao juga
wkwkwk. Saya sudah praktekin soalnya hahaha. Habis gitu kena protes sama anak-anak. Duitnya
dibagi bagilah sama mereka buat beli permen atau mainan. Don’t try this at home
ya.
3. Berebut Makanan
Apa makanan paling lezat di dunia? Saya bakal jawab,
makanannya dikit, ngumpul sama orang banyak, sambil rebutan manja. Itu ikmatnya
sampai di ubun-ubun. Padahal beli juga bisa. Tapi momen rebutan itu lo, yang
bikin gemes. Hahahaha. Keseruan itu masih saya lakukan sampai saat ini. Sama
adik-adik yang sudah tidak bisa dibilang anak-anak lagi. Duh, bahagiaku sereceh
itu.
Tapi ternyata, saudara lain juga melakukan hal yang sama. Apalagi
saudara dari suami yang merantau ke Jakarta. Pasti dong, makanan khas jadi
buruan.
Nah, Saat lebaran, kita silaturahmi kan. Kerumah tetangga atau
saudara. Saat melihat menu khas di atas meja, kadang tanpa permisi anak-anak
langsung serbu. Eh bukan, ibu-ibu perantau seperti saya juga pernah melakukan
hal yang sama. Norak sih. Tapi, menyenangkan wkwkwk.
Sekilas tak sopan, tapi sang empunya rumah selalu tertawa
sambil geleng-geleng kepala. Sudah tahu kelakuan kami tiap tahun pas anjangsana.
Tak lupa jurus basa-basi ala kampung halaman.
“Jajane gowoen mulih lo, iki jik akeh” (kuenya bawa pulang
aja, disini masih banyak)
Tentu saja, dengan sangat sangat basa basi, saya menjawab
“Mpun mbah mboten usah repot-repot” (gak usah repot-repot
mbah). Tapi tangannya sambil menerima bungkusan kresek kue tadi wkwkwk. Ya kan,
gak mungkin ditolak, itu lebih gak sopan lo klo di desa. Hihihi.
Kamu tahu apa yang jadi rebutan? Salah satunya, Tapai ketan. Kudapan
dari beras ketan yang difermentasi. Rasanya manis, asem, seger. Top markotop!!
Ya Allah… semoga tahun depan sudah ada anti virus yang
ditemukan. Jadi, momen unik kayak tadi, tetap bisa dilestarikan kwkwk.
Kalau kamu? kangen ngapain waktu lebaran? sharing yuk…
ketupat selalu dirindukan, sekarang saat gak bisa kumpul , bakal gaka da ketupat , gak bisa bikinnya
BalasHapusiya mbak, kalaupun beli disini, rasanya juga beda sih..
Hapus