Tampilkan postingan dengan label family. Tampilkan semua postingan

Cerita Di Rumah Saja Bersama Orang-Orang Seru

2 komentar

Ini kumpulan cerita di rumah bersama orang-orang seru yang saya jumpai sehari hari. 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 365 hari setahun. Siapa saja? Anak-anak dan suami.

Sebenarnya, kalau disuruh bercerita, kegiatan seru di rumah saja, saya bingung. Karena yang seru itu bukan kegiatannya. Tapi orangnya. Ya gak sih…..

Agak beda memang di rumah saja sebelum dan sesudah pandemi covid-19. Sebelumnya, rutinitas harian itu tampak biasa. Pagi sekolah, kerja, pulang kerumah si anak main, si ‘sulung’ juga main. Main game. Duh!

Setelah pandemi, kira-kira sudah di rumah selama 40 hari lebih, kita mulai mati gaya. Jadi, kalau sudah begini, bukan orangnya yang diganti loh heh! Becanda…

Tapi, bagaimana berpikir seru di tengah orang-orang yang ‘biasa-biasa’ saja.

Ini adalah kumpulan cerita, bagaimana kegiatan yang sebenarnya biasa, jadi seru pas di rumah saja selama lebih dari 40 hari.

Bantuin masak

Versi anak

Anak pertama saya mulai melabeli saya dengan sebutan ibu koki. Maklum saat pandemi covid-19 mulai merebak, saya lebih banyak masak di rumah. Rasanya, cukup lumayan, menuju ke enak. Mungkin karena sering masak, jadi skill terasah. Practice makes perfect. Gitu kata motivasi di bawah buku Sidu.


Mas Zafran juga jadi suka bantu di dapur. Ya tambah ribet sih soalnya doi selalu nanya ini gimana itu gimana. Ini sudah bener belum. Jadi sebenarnya klo dibantuin masak tu jadi double job. Antara masak, dan ngajarin anak ini itu.

Bantu kupas bawang
Tapi gak apa-apa. Daripada dia mantengin laptop mulu liat youtube. Yang dilihat review game perang-perangan. Makanya doi jadi sering minta dibikinin stetoskop tembaklah, senapan AWM, sasaran tembak, tameng dll. Semua berbahan kardus bekas.

Teleskop senapan dari kardus. 

Versi suami

Nah, yang tak kalah seru sebenarnya saat di bantuin suami. Suami juga ikut menyiapkan menu buka puasa. Biasanya yang simple-simple aja sih. Ngupas bawang, atau bantu balik gorengan.

Masak weci demi konten 
Kalau disuruh bikin bumbu masakan atau perintah agak ribet dikit, saya malah riweh sendiri.

Contohnya begini

“Yah, bikinin jus jambu. Jambunya Sudah dicuci di kulkas”

“Oke”

Oke adalah jawaban bercabang. Antara iya ngerti dan iya-in aja biar cepet. Masak bikin jus aja gak bisa bun? Bisa kok, tapi gini

Saya biasanya akan menilai hasil kerja suami. Kalau kurang pas, saya kritik. Kalau kurang cocok, ya saya kritik. Kalau enak juga saya kritik. Jadi, suami semacam tak punya pilihan lain untuk tidak kena kritik.

Makanya tiap kali mau melakukan sesuatu se-simle membuat jus, doi selalu ‘berhati-hati’.

“Ini dikupas dulu apa gak?” pertanyaan ini muncul saat saya lagi ribet goreng ayam sama motong sayur. Jadi yang keluar adalah

“Terserah”

Jawaban ini sangat membingungkan untuk suami. Jadi doi mulai memastikan

“Dikupas aja wes”

“Oke”

Tidak berhenti sampai di situ. Tindakan selanjutnya juga perlu dikonfirmasi

“Ini motongnya kecil opo segini cukup?” saya mulai senewen. Saya jawab singkat “iya” toh,  nanti juga di blender kan, jadi gak mungkin potongan jambu itu akan berubah jadi rubik saat di blender.

Setelah di potong, pertanyaan selanjutnya bisa di tebak. Sebelum doi nanya saya mulai dulu

“Airnya 1000ml. Gula 5 sendok”

Dia ngikik

Dan jus jambu jadi dengan asbabul wurud seperti di atas. Done!

Ngobrol seru

Ngobrol adalah kegiatan lumrah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Tapi, kalau kelaman gak bersentuhan dengan dunia luar, obrolan absurd mulai muncul.

Begini

Versi suami

Di hari biasa, tanpa pandemi, pillow talk akan membahas soal yang rumit-rumit di kantor. Mulai A-Z. Itupun kalau masih ada tenaga. Kalau gak, ya bablas merem.


Nah, selama pandemi ini, suami work from home. Jadi di rumah saja. Obrolnya jadi lebih random. Yang paling bikin ngakak ya semalem.

“Buk, gak pengen bikin kue apa gitu?”

“Tumben, kue opo?” suami gak suka kue, soalnya rasanya manis dan bikin eneg. Satu-satunya kue favorit adalah kue abon sapi. Soalnya rasanya gurih

“Ya apalah trus kasih lilin?”

“Emange sopo sing ulang tahun?” maklum, ingatan saya payah soal angka. Bahkan untuk hari spesial bersama pasangan. Sayapun berinisiatif melihat tanggal.

“30 April ultahe sopo yah?”

“Embuh, zafran sunat paling”

“Wkwkwkwkwk ya Allah, kita nikah tanggal ini yo yah” sambil ngakak saya peluk si bapaknya anak-anak

“Lak lali, ke piro iki?” (pasti lupa, ini ke berapa)

Saya ngakak lagi, ngakak terus, agak lama, biar gak ditanya lagi, soalnya lupa wkwkwkwkwkwk

Itu kejadian paling memorable saat pandemi yang sudah mulai menggoncang jiwa-jiwa ekstrovet dan introvert dalam satu waktu.

Ada lagi obrolan absurd lainnya.

Versi anak

“Buk nanti kalau koronanya sudah hilang, aku mau beli jam imo”

“Apa hubunganya?”

“Kalau pulang sekolah, trus ibuk belum jemput, aku bisa telpon”

Ini klo ngomong sama dosen Dasar-dasar logika, bisa langsung dikasih E. Silogismenya ancur. Gak bisa ditarik kesimpulan. Premis mayor sudah bener. Tapi remis minornya kagak ada.

Coba kita masukkan premis di atas.

Jika korona hilang, aku mau beli jam imoo (premis mayor)

Kalau pulang sekolah ibuk lama gak jemput, aku bisa telepon. (harusnya premis minor)

Ini jelas tidak bisa di tarik kesimpulan berdasarkan makna silogisme.

Harusnya begini

Jika korona hilang, aku mau beli jam imoo

Sekarang, korona belum hilang

Kesimpulannya, kamu gak beli jam imoo

Ini coba saya jelaskan sama Zafran (6). Tahu apa jawabannya? Dia gak jawab. Tapi pergi entah kemana. 🤣

Itu tadi obrolan absurd saya dengan si anak sulung. Seru kan ya. Saya jadi tambah bego. Wkwkwk.. Gak sih, obrolan itu gak saya bahas sampai 2 semester gitu. Ini bayangan saya aja. Gimana kalau tadi tak jawab begitu. Dia paling cuma bengong, padahal saya sudah berapi api. Kan kezel.

Yah, itu tadi dua kegiatan biasa biasa saja dengan orang-orang seru di rumah. Ingat, yang seru itu orangnya, kegiatan cuma sarana. Biar kalau dalam kondisi apapun, kamu tetap bisa stay happy meskipun harus stay at home.

Kamu, ngobrolin siapa bu? eh, ngobrolin apa?






 

Tips Komunikasi dengan pasangan

6 komentar

Tulisan ini awalnya mau ngomongin tentang tips ngobrol sama suami. Setelah dipikir pikir, kok kayaknya, istri aja ya yang berjuang buat komunikasi. Padahal, makna komunikasi itu kan dua arah. Jadi dua-duanya musti ada usaha untuk menyamakan frekwensi. Biar apa? ya biar yang ingin disampaikan bisa dipahami lawan bicara. Baik suami atau istri. Jadi, setelah selesai beberapa paragraf nulis ini, saya ubahlah jadi, komunikasi dengan pasangan. Keknya lebih oke.

Sebelumnya, saya juga mau disclaimer dulu. Saya ibu rumah tangga nyambi olshop dan ngeblog.


Suami saya pekerja kantoran. Latar belakang ini perlu saya sampaikan lebih dulu. Karena, beda peran, pasti tipsnya juga gak sama. Misalnya, jika suami dan istri sama-sama bekerja diluar.

Tapi pada setuju dong buibu atau pak bapak, kalau komunikasi itu penting banget. Apalagi yang sudah berkeluarga dan punya anak. Jangan sampai karena kesibukan masing-masing, komunikasi hanya dilakukan dengan mata batin. Seperti, “mustinya ngertilah”, “harusnya sudah tahulah” atau, trawangan lain yang bisa dipastikan banyak miss-nya daripada benernya.

By the way, meskipun tulisan ini dibuat oleh istri, yaitu saya, tapi semoga juga bisa mewakili hati bapak-bapak untuk berkomunikasi dengan istrinya. Intinya sama kok, kerjasama kedua belah pihak untuk saling mengerti dalam menyampaikan sesuatu.

Sebelum lanjut ke tipsnya, saya mau curhat dikit boleh dong buibu.

Jadi begini…

Ngobrol dengan suami itu susah susah gampang. Mungkin ini juga yang dirasakan suami waktu ngobrol sama saya, istri tercintanya. Susah susah sulit hehehe. Ada saja yang bikin gak klop atau bahkan berujung pada debat kusir. Bukannya menyampaikan uneg-uneg, eh malah dapat masalah baru. Duh!

Ternyata, ‘Isi’ kepala antara laki-laki dan perempuan memang beda. Laki-laki lebih menggunakan logika sedang perempuan pake perasaan. Tentu, ini ngaruh ke model komunikasi keduanya.

Suami saya misalnya, suka to the point, gak bertele-tele, langsung ke pokok masalah. Sedangkan saya, biasanya musti ada muqoddimah dulu bareng sejam dua jam, lalu inti, dilanjut penutup wkwkwk. Dikira pidato.

Semakin kesini, saya pikir, kita butuh solusi. Supaya komunikasi tetap berjalan dengan baik. Apa yang disampaikan, bisa difahami bersama. Tak ada yang merasa tidak didengarkan, atau merasa superior dari yang lain. Perasaan-perasaaan semacam ini juga berpengaruh pada proses komunikasi yang ingin dibangun.

Lalu, apa saja yang musti diperhatikan saat mau berkomunikasi dengan pasangan (suami atau istri)

1. Berbeda

Sadari dari awal, bahwa otak perempuan dan laki-laki itu berbeda. Ini akan mengurangi anggapan bahwa ‘saya paling benar’ atau ‘kamu pasti salah’ dalam sebuah komunikasi. Karena suami itu unik, demikian juga istri. Perbedaan ini given, bukan yang dibuat buat. Jadi, pastikan saling mengisi, memahami bukan menghakimi.

foto: google

Memahami bahwa kita berbeda ini juga bisa menipiskan superioritas. Jangan pernah beranggapan bahwa ‘saya paling berjasa’ atau ‘kamu tak berkontribusi apapun’. Ini sungguh akan membuat komunikasi sia-sia belaka. Sekeras apapun mencoba, hasilnya nihil. Karena komunikasi dengan pasangan bukan soal siapa yang menguasai podium atau bagian tepuk tangan. Ini soal menyamakan persepsi, menyampaikan rasa, lebih jauh, menyelesaikan masalah, jika ada.

2. Dengarkan

Mendengar adalah koentji. Dalam status hubungan apapun, mau mendengar itu penting. Tanpa ada niat untuk interupsi atau menjawab. Iya, hanya dengan mendengar. Give him or her attention. It means alot.

3. Suasana

Untuk membangun komunikasi yang baik tentu diperlukan waktu dan suasana yang pas. Tidak perlu harus ke alam terbuka dengan dua kursi taman, sambil minum teh hangat. Ya kalau bisa sih gak papa. Tapi, di meja makan juga oke. Atau pas lagi masak, lalu ngobrol tentang anak atau kerjaan asik juga. Yang pasti, buibu sendiri yang tahu kapan waktu yang pas buat ngobrol tentang sesuatu. Keluh kesah pekerjaan rumah, tentang anak, pekerjaan, dan seabrek to do list yang musti dikomunikasikan dengan pasangan.

Lihat juga mimik muka pasangan, kalau memang sedang tidak mood buat ngobrol suatu tema, bisa di switch dengan tema lain atau akhiri saja perbincangan. Ganti dengan joke-joke ala bapak-bapak atau obrolan ringan lainnya. Kek gini wkwkwkwk


4. Distraksi

Hindari ngobrol sambil nonton tv atau pegang hp. Singkirkan semua yang berpotensi mendistraksi komunikasi. Fokus pada pasangan. Bahasa tubuh juga sangat berpengaruh, apakah komunikasi ini akan berjalan lancar atau tidak. Seperti, sambil nyender di pundak suami, pegang tangan atau tatap matanya saat ngobrol. Duh, jadi pengen hihihihi.

5. No texting
brillio.net
Hindari ngobrol serius via text. Wa, line, sms atau apapun berupa tulisan. Karena salah tanda baca, bisa berakhir bencana. Salah nempatin titik sama koma aja bisa beda arti. Meskipun sekarang sudah tersedia berbagai macam emoticon. Itu tidak bisa menggantikan senyum tulus, ngakak wekaweka atau bahkan derai air mata. Usahakan bertatap muka. Sekesel apapun kita. Semakin cepat diobrolin semakin baik. Daripada dipendem bakal jadi penyakit. 

Ngobrol via text bisa dipake buat “pak, nitip nasi goreng ya, pedes karet dua” atau “are u oke?” kalau bapaknya udah ngeluh gak enak badan sejak mau berangkat ngantor atau istri lagi mens hari pertama. Rasanya nyes bu, pak. Atau kata-kata so sweet seperti “buk, aku pulang cepet, ada maem dirumah?” (ini sweetnya dimana ya wkwkwk).

Dari kelima tips tadi, mana yang paling susah bu? eh digantilah pertanyaannya. Mana yang paling mudah?. Lakukan. Siapa dulu? Kamu. lalu? Kamu. trus? Ya kamu. siapa lagi ah elah. Siapapun yang membaca ini suami atau istri, atau yang mau jadi suami atau istri, mulailah dari diri sendiri. Hindari berpikir ‘saya paling banyak berusaha’ atau ‘kamu tidak melakukan apa-apa’. Perasaan seperti ini, percaya deh, gak akan membawa kita kemana mana kecuali bencana yang lebih besar.

In relationship, when communication starts to fade, everything else follows.

Buat buibu atau pak bapak yang lagi berusaha untuk memperbaiki model komunikasi atau yang sedang bermasalah dengan komunikasi dengan pasangan, semangat ya. Karena ini bukan lagi tentang aku kamu, ini tentang kita.
Share yuk pengalaman komunikasi sama istri atau suami.


Salam,