Ilmu parenting memang tidak pernah ada habisnya. Selalu berkembang setiap generasi. Tentu, untuk menyesuaikan perubahan zaman. Pendidikan untuk anak generasi milenial akan berbeda dengan gen Z atau bahkan generasi alpha.
Sama juga ketika saya ingin
mengajarkan toleransi. Dulu, waktu masih SD, toleransi ‘sebatas’ menghormati
yang lebih tua dan menghargai yang lebih muda. Tapi, makin kesini, sikap
toleran tidak hanya berkutat pada lingkup sekitar saja. Perkembangan teknologi informasi
mengubah makna toleransi menjadi lebih luas. Apalagi, media sosial sudah
menjadi makanan sehari-hari.
Seperti kasus perundungan di
media sosial. Atau sikap intoleran kepada orang yang berbeda keyakinan. Makin
kesini, kasusnya semakin ngeri.
Bagi saya, toleransi ini bukan
cuma soal sifat yang musti ada dalam diri anak. Lebih dari itu. kemampuan
menerima perbedaan adalah kebutuhan hidup dalam masyarakat yang beragam.
Ah, saya memang sangat was-was
untuk soal ini. Melihat berita-berita intoleran bersliweran di media sosial. Bikin
bulu kuduk saya merinding. Ada yang berakhir damai dengan musyawarah mufakat.
Tapi juga gak sedikit yang berujung korban nyawa. ‘Hanya’ karena berbeda!! Duh!
Lantas, apakah saya harus
menjelaskan kepada anak tentang bagaimana toleransi berkembang di negara
berflower ini? seperti apa reaksi pemangku kebijakan terhadap aksi-aksi
intoleran? Atau hal-hal apa saja yang harus dilakukan saat melihat aksi
intoleran?
Hah…….. belum. Berat jendral.
Saya lebih memilih dia belajar senatural mungkin. Mengamati polah tingkahnya.
Menjawab sesuai usia. Lalu, mencari celah untuk melanjutkan perbincangan ke
arah yang berat-berat itu tadi. Sebenarnya, saya, juga sedang belajar tentang
ini.
1. Berikan contoh
Anak adalah peniru ulung. Bahkan
sampai ada istilah, jangan khawatir jika anak tak mendengarkanmu. Takutlah saat
ia melihatmu. Maka, di urusan toleran ini, orang tua harus selesai dulu.
Artinya, sikap toleran ini bukan nature
tapi nurture. Ia dipupuk sedemikian
rupa, sehingga membuahkan hasil.
Pupuknya alami dari tingkah laku
orang tua setiap hari. Dari polah yang kadang abai. Seperti berkata baik dengan
siapapun, menghapus stereotype, tidak menjelek-jelekkan orang lain. Sederhana tampaknya, tapi tak bisa juga dibilang mudah. Saya membayangkan, kalau setiap hari sedang diintai cctv.
Saya ingat betul saat saya kira mas
Zafran (6) lagi sibuk main game di hp ayahnya. Tetangga datang bawa undangan
RT. Kita ngobrol sedikit tentang masalah anak-anak di sekolah. Saya pikir, si
masnya cuek, taunya dia ‘ikut nimbrung’ juga.
“Kenapa mbak N buk?”
“Lagi sakit makanya gak sekolah”
“Sakit apa?”
“Panas”
Saya kagum dong, sama kemampuan ‘detektif’
dia ahahahaha. Udah kayak bapak jualan bakso bawa HT.
foto: twitter |
Saya jadi ingat petuah orang tua
dulu “Lek wes dadi wong tuwo, sembarange kudu ngati-ngati. Ngomong sak ngomong
dipikir. Tingkahe yo di jogo” (Kalau sudah jadi orang tua, segala sesuatunya
harus hati-hati. Perbuatan dan perkataan musti dijaga dengan baik).
2. Bermain
Dari bermain, saya akan
mengetahui bagaimana anak ini menanggapi perbedaan. Misalnya, Saat main sama
adiknya. “Dik, kamu tu harusnya main
boneka” kata mas Zafran saat adiknya pegang mobil-mobilan miliknya. Padahal,
gak apa-apa kan adiknya main mobil-mobilan?!
Dari sini saya jadi tahu, mulai
dari mana menjelaskan tentang menghargai pilihan orang lain.
Atau di lain hari misalnya, saat
mas Zafran berantem dengan teman di blok sebelah. Dia mulai marah-marah dengan
memberikan label pada semua anak.
“Aku gak mau main sama blok
sebelah”
“Kenapa?”
“Nakal semua”
“Gak semua anak yang disana
nakal, emang kamu udah kenal semua?”.
“Belum”
“Nah, kan. Kenalan dulu lah biar
tahu”
Atau saat dia mulai memilihkan
mainan buat adiknya,
“Dik, kalau cewek itu warna pink,
cowok biru”
Saya nyelonong “Masak sih? Adik
boleh lo pilih warna sesukanya, kamu juga bisa pilih warna pink kalau suka”.
Pahamkah dia saat itu? belum.
Tapi bagi saya ini penting untuk
bekal awalnya memahami apa itu toleransi. Kill
the stereotype. Ya meskipun gak semua stereotype itu buruk. Tapi saya
yakin, suatu saat dia bisa memilih mana yang yes, atau big no.
3. Bercerita
Membacakan cerita. Cerita nabi-nabi,
cerita rakyat, fabel, apapun. Biasanya, sebelum bercerita, saya mencoba
selesaikan dulu ceritanya. Jadi kalau saya sudah paham, cukup mudah untuk
menyusupi pesan-pesan ‘sponsor’. Termasuk juga tentang toleransi.
Menurut saya, hampir semua cerita
bisa diselipkan pesan ini. Bahkan cerita princess sekalipun. Seperti buku Guess Who Sofia ini. Punya Inara (2). Buku
ini berisi tebakan tokoh-tokoh di sekitar Sofia, the Princces. Cluenya detail.
Warna dan jenis rambut, warna baju, sampai sifat tokohnya.
Buku Guess Who Sofia | foto: doc. pribadi |
Dari sini bisa diselipkan pesan
bahwa meskipun kita berbeda, kita bisa berteman. Bahkan dengan orang yang
sifatnya berbeda sekalipun. Di akhir cerita, mereka berkumpul bersama untuk
merayakan ulang tahun Sofia.
Isi buku Guess Who Sofia | foto: doc. pribadi |
4. Panggilan
Memanggil laki-laki yang lebih
tua dengan sebutan bapak atau pak. Seperti saat saya bilang “Itu bapak tukang
sampah yang biasa bersihin sampah depan rumah mas”.
Posisinya sama dengan “Itu
namanya bapak presiden mas, yang jadi pemimpin seluruh rakyat Indonesia”, saat
dia lagi nonton tv.
Bagi saya, penyetaraan panggilan ini
bisa menjadi bekal untuknya. Bahwa tidak ada pekerjaan yang lebih rendah atau
lebih tinggi. Semua manusia setara, sama. Yang membedakan adalah perilaku dan
akhlaknya. Maka, saya lebih memilih panggilan ‘bapak’ alih-alih ‘tukang’ kepada
bapak-bapak yang mengambil sampah.
5. Menempel peta dunia di dinding
kamar
Ini saya buat, agar mas Zafran
tahu, bahwa dunia ini isinya gak cuma Indonesia. Ada banyak negara lain di
dunia. Dengan banyak orang di dalamnya. Tentu dengan karakter dan budaya yang
berbeda. Dari peta ini dia juga bertanya banyak tentang musim dan bagaimana
cara bertahan di musim itu.
Peta Dunia | foto: doc. pribadi |
Saya kira ini cukup mudah untuk
masuk dalam tema yang lebih luas. Seperti perbedaan warna kulit, suku, agama,
budaya dan lain sebagainya. Yes, we are
different!
Yah, maklum ya mas, belum bisa ke
luar negeri. Jadi, kita lihat dunia lewat buku sama peta ini aja dulu ya. Nanti
sekolah yang pinter, biar bisa menjelajah dunia. Amin..
6. Bermain diluar
Saya biasanya membebaskan mas
Zafran untuk bermain di luar rumah. Bermain tidak hanya dengan teman sebaya,
tapi juga teman yang lebih tua atau muda. Dengan begitu, saya akan tahu,
bagaimana si anak merespon tingkah laku anak lebih tua, atau menghadapi anak
lebih muda.
Seperti misalnya, kadang, dia
akan pulang dalam kondisi menangis. Saat ditanya kenapa,
“Mas B gak mau ngajak main,
soalnya aku masih TK”.
“Terus?”
“Ya aku jadi males maen.”
Saya diam.
Saya kadang hanya memperhatikan
dari jauh, apa reaksinya jika ada kejadian seperti ini. Benar juga, tak lama
kemudian dia main lagi sama si anak tadi.
Saya pikir dia akan butuh waktu
agak lama untuk kembali tune in sama
temanya. Tapi ternyata, 5 menit berlalu sudah haha hihi saja. Ya kadang saya
memang over thinking sama anak-anak.
Padahal dunia mereka akan rasa marah, senang, sedih itu gak serumit orang
dewasa macam saya. Ah nak, ibuk perlu belajar tentang ini dari kamu.
Lah, kok jadi kemana mana. Kembali
ke laptop.
Jadi gini, dari cerita di atas,
saya bisa melihat sejauh mana dia mananggapi perbedaan. Temannya yang
mengatakan dia anak TK dan gak boleh bermain itu kan jelas pandangan yang
berbeda. Jadi, kalau anaknya lari dan memilih pulang, berarti dia belum bisa
menerima ‘beda pendapat’ itu.
Butuh belajar. Gak bisa serta
merta memang. Tapi toh, dia balik lagi untuk bergabung dengan temannya.
Artinya, everything is oke. Bisa jadi, dia bukan sedang tidak
bisa menerima beda pendapat. Hanya butuh waktu saja untuk mencerna sembari
meredakan emosi.
7. Memberi hadiah
Saat ada temannya ulang tahun,
saya biasanya menanyakan dia ingin menghadiahkan apa buat temennya. Atau kalau
dia bilang terserah, ya saya siapkan saja. Momen seperti ini sebenarnya yang
saya suka. Anak belajar untuk memberi dengan senang hati. Pada siapapun.
Di kompleks saya kebetulan dari
berbagai latar belakang agama. Saat ada anak beragama lain yang sedang ulang
tahun, ada momen saat berdoa. Tentu berbeda. Si masnya memperhatikan lalu
bertanya.
“Doanya kok gitu?”
“Ya memang beda mas, mbak N kan
agamanya Kristen”
“O…”
Lalu meyayikan lagu selamat ulang
tahun sama-sama. Here we go boy, unity in
diversity. Kek tagline seminar kampus hahaha.
Itu tadi cara saya mengajarkan
toleransi sama anak-anak. Mungkin mereka belum ngeh saat ini. tapi suatu saat
nanti, saya yakin mereka bakal paham kok. Bagaimana menghargai pilihan orag
lain, menghilangkan stereotype, memahami perbedaan, dan menghormati pemeluk
agama lain. Kita belajar sama-sama ya mas… luv u J
Kalau buibu, ada tips? sharing yuk...
Kalau buibu, ada tips? sharing yuk...
Wah keren banget. Kebetulan ini keponakanku dua cowok semua. Kelas 5 dan 6 SD. Beberapa tahun lalu mereka masih demen nonton Frozen. Kalau film itu lagi main di TV Kabel aku pasti dipanggil lalu mereka ngajak nobar. Eh sekarang pas Frozen 2 main di bioskop, kuajak dong mereka nobar ke bioskop. Kaget banget sama responnya yang sudah memberi label ke film itu.
BalasHapus"Nggak mau nonton Frozen 2, banci!"
Maksudnya dia nganggap Frozen film perempuan. Duh. Darimana mereka kenal pelabelan semacam ini. Pasti dari temen-temennya. *tepokjidat
Untungnya, mereka masih mau ke dapur. Sudah diajarin untuk masak air, masak mie instan, dan mencuci piring sendiri. Jangan sampai deh, mereka melabeli pekerjaan dapur itu pekerjaan perempuan.
Tantenya punya PR gimana supaya mereka enggak diskriminasi gender. Hehehe.
wow Banci. hiks... masih terus belajar kok ini mbak. anak2 itu susah susah sulit dipahami hehehe.. semangat belajar :-)
Hapusmantapp nekk.. sangat menginpirasi *tak siap siap aku hihihi
BalasHapussuwun :*
iki cupung iki ya, tak siap2 spidol merah, mbunderi tanggalan :-)
HapusBagus untuk dipraktekkan kalau aku sudah punya anak nanti. Terimakasih sudah berbagi ya, Mbak.😄
BalasHapushehehe... ditunggu cerita tentang anak-aaknya nanti :-)
HapusBelajar sambil bermain memang nyata dampaknya memberi perubahan ke anak, ya. Karena kondisinya tidak merasa dipaksa malah dalam keadaan senang sehingga pesan yang masuk jadi sampai dengan baik
BalasHapusyup mbak, yg butuh effort ya membersamai itu. masih sama-sama belajar ini. semangat buat buibu :-)
Hapus