Menjalani puasa Ramadan di tengah pandemi virus covid-19 ini
memang berbeda. Banyak hal yang membuatnya tak lagi sama. Seperti tidak adanya
tradisi-tradisi yang biasa dilakukan saat puasa.
Tradisi sendiri berarti adat atau kebiasaan turun temurun
yang masih dijalankan dalam masyarakat. Bentuknya bisa bermacam-macam. Sesuai adat
di daerah masing-masing.
Waktu pelaksanaan bisa beragam. Ada yang dilakukan saat puasa.
Bisa juga dilakukan menjelang Idul Fitri tiba. Ketetapan waktu ini berbeda di
tiap daerah. Sesuai dengan ‘kepercayaan’ masing-masing.
Nah, di tempat saya tinggal sekarang, Sidoarjo, tradisi yang
berlaku hampir sama dengan di Tulungagung, kota kelahiran saya. Tak ada perbedaan
signifikan. Masyarakat disini juga masih berpegang teguh pada tradisi yang dijalankan
secara turun temurun. Beruntungnya saya.
Namun, saat pandemi covid-19 ini mulai datang ke Indonesia pada
Februari 2020 silam, bayangan menjalankan tradisi saat bulan Ramadhan perlahan
sirna. Apalagi melihat sebaran virus mulai masuk ke daerah-daerah terpencil di
Indonesia.
Pemerintahpun mengambil kebijakan physical distancing, jaga jarak aman interaksi. Kemudian PSBB (Pembatasan
Sosial Berskala Besar) di sejumlah wilayah untuk menekan angka penyebaran
virus.
Praktis kebijakan-kebijakan tersebut berdampak pada pelaksanaan
tradisi saat Ramadan di sejumlah daerah. Kenapa? karena tradisi ini dilakukan oleh
sekumpulan orang. Satu kampung malah. Jadi, gak mungkin dong, tetap menjalankan
tradisi, di tengah ikhtiar melawan virus?!
Apa saja tradisi yang hilang, atau postpone kali ya, tunda tahun depan. Ini dia.
1. Ngabuburit
Ngabuburit ternyata berasal dari Bahasa Sunda. Terbentuk dari
lakuran ngalantung ngadagoan burit. Artinya, bersantai santai sambil menunggu
waktu sore. Kata dasarnya burit, berarti sore. Waktu ini biasanya antara usai
shalat asar hingga sebelum matahari terbenam.
Barangkali ada versi lain tentang istilah ngabuburit ini,
sila tulis di kolom komentar ya J
Di sini, ngabuburit biasa dilakukan sambil berburu takjil
(makanan untuk berbuka uasa). Sembari jalan-jalan sore, banyak pedagang
menjajakan kue khas Ramadan di pinggir jalan. Minuman segar seperti jus atau es
camur juga ada.
Sumber: Radarsurabaya.com |
Ngabuburit juga bisa dilakukan dengan tadarus di masjid. Sembari
menunggu azan magrib berkumandang. Bisa juga sekedar kumpul bareng keluarga,
lalu ngobrol bersama.
Namun, setelah negara api menyerang (covid-19), kondisi ini
tak lagi sama.
Pemerintah melarang adanya kerumunan lebih dari 5 orang. Melakukan
physical distancing, serta
memberlakukan PSBB di sejumlah wilayah. Pemerintah juga menghimbau untuk berada
di rumah saja, jika tidak ada kepentingan mendesak di luar rumah.
Kebijakan ini praktis membuat tradisi ngabuburit hilang. Jangankan
mau jalan-jalan sore sambil berburu takjil, mau keluar rumah buat beli camilan
saja musti mikir berulang kali. Maklum, saya sendiri masih was-was untuk
membeli makanan di luar. Lebih tenang kalau masak sendiri. meskipun sekedar
camilan kentang goreng bumbu sajiku.
2. Nyekar
Nyekar adalah kegiatan ziarah kubur ke makam leluhur. Biasanya
dilakukan saat menjelang puasa dan menjelang lebaran. Di Jawa Tengah, tradisi
ini disebut Nyadran.
Nyekar biasanya dilakukan dengan membaca yasin, lalu membersihkan
makam. Kemudian tabur bunga di makan tersebut.
Saya biasanya ke makan almarhum bapak di Tulungagung. Mbah-mbah
saya juga dimakamkan di lokasi yang sama. Jadi sekalian ke mbah juga. Kegiatan ini
sudah biasa saya lakukan bersama keuarga.
Saat bulan puasa tiba, di pinggir jalan biasanya sudah
berjejer penjual bunga untuk nyekar di makam. Isinya bermacam-macam. Ada kembang
boreh, bunga mawar, melati, sama enjet (putih-putih kayak pasta). Semua jenis
bunga itu tadi di bungkus daun pisang. Harganya berkisar 5000-10.000 rupiah tiap
bungkusnya.
Sumber: VOA Indonesia |
Nah, karena tahun ini kami tidak mudik sesuai anjuran pemerintah,
saya juga tidak melakukan tradisi ini. Saya hanya membaca doa di rumah untuk
almarhum bapak dan para leluhur.
3. Megengan
Ini tradisi yang biasa dilakukan beberaa hari sebelum puasa Ramadhan
tiba. Kalau di kota kelahiran saya, Tulungagung, megengan dilakukan di masjid
dengan membawa berkat (makanan lengka dengan wadah kardus makan atau wadah dari
plastik).
Sumber: NU Online |
Di Jawa Barat tradisi ini bernama Munggahan. Sedangkan di
betawi bernama nyorog. Tujuannya sama, bersyukur akan kedatangan bulan Ramadhan
yang penuh berkah. Dengan cara makan bersama dengan berbagai menu dan kemasan
khas daerah masing-masing.
Nah, tradisi ini juga tidak ada karena covid-19 mulai merebak
di sejumlah wilayah di Indonesia. Kumpul-kumpul dilarang. Untuk memutus rantai penyebaran
virus covid-19.
Ada satu lagi yang barangkali hilang saat lebaran bersama
covid-19 L
4. Sungkeman
Kami sekeluarga memutuskan untuk tidak pulang kampung tahun
ini. Sesuai anjuran pemerintah. Alhasil, acara sungkeman saat lebaran juga
bakal hilang. Diganti dengan video call
dengan keluarga jauh.
Rasanya pasti akan sangat berbeda. Karena bagi saya, ini
adalah momen paling sakral saat lebaran. Meminta maaf kepada orang tua. Bersimpuh
sambil berjabat tangan dan meminta maaf. Lalu berpelukan. Biasanya saya pasti
menangis saat momen ini. Duh!
Tapi mau bagaimana lagi, toh ini untuk kebaikan bersama. Barangkali
menunda bertemu untuk waktu yang tidak bisa diprediksi adalah pilihan terbaik
saat ini. Sabar….
Itu tadi, 4 tradisi yang biasanya saya ikuti dan lakukan. Bagi
saya, melestarikan tradisi leluhur itu penting. Agar kita selalu ingat asal
usul. Toh tujuannya baik. Sebagai bentuk syukur atas nikmat yang selama ini
diberikan. Juga sebagai pengingat untuk terus berbuat baik sebelum ajal menjemput.
Kalau di daerahmu? Kamu kehilangan tradisi apa? sharing yuk…
Sumber:
https://www.liputan6.com/ramadan/read/4237409/5-tradisi-unik-selama-bulan-ramadan-di-indonesia#
https://travel.kompas.com/read/2019/05/09/070700527/6-tradisi-khas-bulan-ramadhan-di-pulau-jawa?page=all
Tidak ada komentar