Komedi Saat Pandemi

29 komentar
Comedy is tragedy plus time. Barangkali quote dari komedian Amerika, Carol Burnett ini bisa mewakili peristiwa yang akan saya ceritakan di bawah.

Tentang pengalaman kami isolasi mandiri (isoman) sekeluarga selama kurang lebih 3 minggu di rumah. Apalagi kalau bukan karena covid-19.

Gak ditunggu, eh tiba juga gilirannya. Sepertinya, mau tidak mau, suka tidak suka, terinveksi virus covid-19 itu hanya soal waktu.


Cepat atau lambat. Bisa saja, kamu yang membaca ini juga akan kena ‘getahnya’. Maaf, bukan sedang mendoakan hal buruk. Tapi, ini adalah bentuk keputusasaan rakyat jelata macam saya yang dari awal pandemi ini, disuguhi beragam kebijakan yang ‘alah embuh’.

Jadi, sepertinya kita, eh saya saja barangkali tidak punya banyak pilihan. Bukan kena atau tidak. Tapi kapan.

Sebaiknya memang taat prokes dengan pakai masker, jaga jarak, dan membatasi aktifitas, menjadi tameng paling awal sekaligus akhir untuk ikhtiar tetap sehat.

La terus, mana komedianya?

Sebentar, kan saya ngeluh dulu dong, habis itu baru bisa tertawa atas peristiwa yang perih saat terjadi, tapi jadi lucu pas sudah berlalu.

Barangkali sudah banyak cerita tentang pengalaman isoman keluarga. Mulai prokes dan vitamin atau obat apa saja yang harus dikonsumsi. Saya akan cerita itu lain kali.

Hari ini, saya cerita bagian lucunya aja ya. Biar nambah imun ditengah pagebluk pandemi.

Begini ceritanya

Plastik soto ayam

Peristiwa ini terjadi H+5 setelah suami dinyatakan positif covid-19. Saya sekeluarga isoman di rumah. Pisah kamar. Suami di kamar depan. Saya dan anak-anak di belakang.

Setelah lapor RT, saya dan anak-anak diharuskan swab antigen ke puskesmas 5 hari sekali. Karena kontak erat dengan pasien positif.

Seharusnya, pihak puskesmas datang kerumah untuk memeriksa. Tapi mungkin karena kekurangan tenaga medis, jadi saya dan anak-anak yang harus ke puskesmas buat tes.

Alhamdulillah, swab pertama saya dan anak-anak negatif covid-19.

Setelah itu, saya mulai bergerilya mencari informasi. Suami lumayan bergejala. Sakit kepala berat, flu, disusul batuk, dan lemas. Jadi praktis saya yang cari info ini itu. Asli! Sungguh melelahkan.

Informasi tentang covid yang dulu saya simpan baik-baik di hp, tiba-tiba sulit dicari. Saya harus memulainya dari awal.

Saya juga mulai mencari informasi tentang vitamin-vitamin yang harus saya atau suami konsumsi. 

Teringat laman situs kedokteran yang bekerjasama dengan kementrian kesehatan untuk penyaluran obat atau vitamin gratis. Saya coba akses. Hasilnya nihil.

Kenapa? karena NIK suami tidak masuk data gugus tugas covid nasional sebagai orang yang terkonfirmasi positif covid. Padahal, itu syarat untuk mendapatkan vitamin atau obat gratis dari pemerintah.

Sayapun pasrah. Bukan soal nyari gratisnya saja, tapi tentang kemudahan mendapat paket vitamin yang bisa didapat dan dikonsumsi sampai masa isoalsi habis. Ini sangat membantu. Karena beli di apotik sudah banyak yang habis. Kalaupun ada, belinya dibatasi.

Tapi, apa boleh dikata, karena data tak masuk, sayapun tak dapat melanjutkan proses untuk mendapatkan paket vitamin covid tadi.

Yasudah, saya cari vitamin sendiri ke beberapa apotik yang bisa delivery order.

Ini juga menguras hati dan jantung. Karena saya harus beli secara terpisah. Vitamin D di apotik A, vitamin C di apotik satunya. Pembelianpun dibatasi. Hanya bisa beli 1 strip yang akan habis dalam 3 hari saja.

Artinya, tiap 3 hari sekali, saya harus pesan vitamin D di apotik A dan vitamin yang lain di apotik yang berbeda. Begitu seterusnya. Sungguh memerlukan kesabaran ekstra.

Belum lagi saya harus melakukan prokes ketat saat berinteraksi dengan suami. Sarung tangan, masker, alat makan dipisah. Selesai makan segera cuci dan pisahkan. Semprot desinfektan di sini, di sana. Begitu seterusnya.

And the last but not least, anak-anak yang sudah taat prokes, tapi sering lupa aturan saat bermain. Mainan berserakan dimana mana. Period!.


Ditengah ‘ketegangan’ tersebut, suatu pagi, tetangga kasih soto ayam lengkap dengan kerupuknya. Sungguh, punya tetangga baik adalah rejeki yang tak terhingga.

Setelah berbagai keruwetan yang saya alami, tibalah saatnya menuang kuah soto kedalam panci. Panci stainless mungil yang baru saja saya beli sebelum isoman. Saya bahkan harus melewati 2 toko untuk selanjutnya memutuskan membeli panci itu.

Maklum, emak-emak. Gak puas kalau belum muterin satu toko ke toko lainnya. Oke.

Saat membuka plastik soto, dengan agak terburu-buru plus rengekan bocil, tak sengaja, sotopun tumpah. Plastiknya, masuk ke panci dengan sangat mulus.

Seketika, dada saya berdesir, entah kenapa, melihat kuah soto yang tumpah jadi momen sentimentil hari itu. Jatuh sudah air mata saya. Nangis.

Sepertinya, susahnya mencari vitamin, atau prokes ketat dirumah, tidak mampu meluluhkan hati saya. Ndilalah, cuma gara-gara kuah soto, ambyar sudah pertahanan saya. Jebol sejebol jebolnya.

Nangis sesenggukan di pojok dapur. Deket galon, samping pel pelan. Setelah itu, bangkit lagi, makan soto. Karena, ya laparlah. Kan gak mungkin nangis tok bisa kenyang dan meyelesaikan masalah.

Lalu, melakukan segala sesuatu kembali, yang memang harus dilakukan hari itu. Detik demi detik, senafas demi senafas.

Tai kucing

Sebelum isoman, hampir setiap pagi, saya akan ngomel dengan bau poop kucing di depan rumah. Padahal, saya tidak punya kucing.

Entah kenapa, diantara banyak tempat berpasir, anabul itu selalu memilih depan rumah untuk menuntaskan hajatnya. Lalu pergi begitu saja. tanpa permisi, tanpa basa basi.

Hari itu, setelah hasil swab kedua, saya positif covid. Alhamdulillah anak-anak negatif.

Saya betul-betul rindu bau poop kucing. Penciuman saya hilang sama sekali. Minyak kayu putih yang biasa saya gunakan untuk terapi bau, sama sekali gak tercium.

Amblas lagi hati saya.

Betapa poop kucing yang biasanya saya rutuki keberadaannya, kini jadi satu hal yang saya rindukan. Hah…..

Sandal jepit

Di tengah keruwetan isoman, selain tempat makan, saya juga memisahkan barang-barang yang dipakai suami. Termasuk sandal jepit yang biasa dipakai saat berjemur.


Ada sandal jepit terkenal merk swallow. Ini pernah dipakai Sehun, personil boyband EXO, dan sempat menghebohkan dunia persandalan Indonesia (penting banget ya dinotice). Sejak dipakai artis Korea, sandal jepit naik daun. Tampak keren dan berkelas. You don’t even know guys, I have two. Warna hijau dan biru.

Oke lanjut

Entah kenapa, saya selalu susah mengingat, mana sandal jepit yang dipakai suami saat berjemur, mana yang punya saya. tiap kali mau pakai buat jemur baju di depan, saya selalu bertanya.

“Yah, ijo opo biru?”

“Ijo ya Allah….!” Begitu kata suami yang heran to the bone tentang drama sandal jepit. (entahlah ini ijo atau biru saya sendiri masih lupa)

Kamar mandi outdoor

Setelah suami terkonfimasi positif covid-19, selain pisah kamar, kamar mandi juga harus berbeda. Saya mulai membuat kamar mandi darurat untuk saya dan anak-anak. Kamar mandi ini saya buat di tempat cucian. Tempatnya pas di depan kamar mandi biasa.

Maklum, kami cuma punya satu kamar mandi.

Kamar mandi darurat itupun membuat saya tertawa sekaligus nelangsa. Dulu, saya bercita-cita ingin punya kama mandi outdoor. Ya semi outdoor-lah. Yang masih bisa lihat langit lepas gitu, dikelilingi pohon rindang.

Maklum, saya tidak bisa mandi lama di kamar mandi indoor. Karena, kalau mandi di kamar mandi dengan sirkulasi udara yang buruk, saya akan muntah. Entah kenapa. Rasanya sumpek luar biasa. Lalu mual. Berujung muntah.

Jadi, kamar mandi darurat itu seperti doa yang terkabul. Dalam bentuk dan situasi yang berbeda. Kamar mandi outdoor. Di tempat cucian, bisa lihat langit saat atap dibuka. Dikelilingi cucian yang mulai menggunung. Ah… syahdunya…

Itu tadi cerita lucu yang saat dialami gak ada lucu-lucunya tapi pas sudah berlalu, bisa ketawa sembari bercerita. Begitulah hidup.  

Hari ini sedih, besok tertawa. Hari ini kekurangan, besok dicukupi. Jadi, gak perlu yang waow waow. Begini saja, cukup.

Minta duit 1 milyar ya Allah…. Amin….

Dasar aku.

Kamu, sudah dapet arisan covid? Sehat-sehat selalu ya sekeluarga.