Saya dilahirkan dari keluarga
yang tak jauh-jauh dari yang namanya dagang. Bapak dan ibu saya seorang
pedagang baju di pasar wage Tulungagung. Keduanya merintis usaha itu dari nol.
Bapak bekerja sebagai tukang potong baju di konveksi yang cukup besar di Tulungagung.
Sedang ibu, berdagang keliling dari pasar ke pasar, untuk memasarkan baju yang
ia ambil dari bos konveksi. Waktu berlalu, hingga keduanya bisa membuat usaha
konveksi sendiri di rumah dan membeli kios di pasar.
Usaha yang dirintis berdua terus
berkembang. Pesanan baju dalam jumlah besar dari luar pulau jawa mulai
berdatangan. Roda berputar. Hingga suatu hari, krisis 1998 mulai meredupkan
usaha. Gempuran baju murah impor, kain murah, dan pasar yang mulai lesu membuat
sedikit demi sedikit orderan berkurang. Saya tak ingat apa penyebabnya. Tapi
kemudian bos besar di daerah Surabaya yang biasa memesan baju untuk dikirim ke
luar pulau memutus kerjasamanya.
Cobaan terus datang. Bapak sakit,
dan meninggal akibat kanker otak stadium IV saat pemilu 2009. Praktis,
kebutuhan keluarga hanya disuplay dari satu orang, ibu. Padahal kami berempat
masih sekolah. Saya dan adik saya sedang menamatkan kuliah, dua sisanya masih
duduk di bangku sekolah dasar. Roda kembali berputar.
Ibu terus berusaha mencukupi
segala kebutuhan. Bangun lagi, dan mulai berjalan. Saat ini, ia menjadi buruh
konveksi besar di Tulungagung. Baju yang sudah dipotong, ia ambil untuk
dibagikan kepada penjahitnya yang masih tersisa. Tanpa resiko, begitu katanya.
Begitu seterusnya. Selain itu, sudah sejak lama ibu menerima order baju seragam
TK Muslimat. Karena ia juga seorang guru disana. Baginya menjadi guru itu bukan
pekerjaan. Itu hobi, hiburan, ladang ibadah. Kalau kerja ya dirumah, njahit. Sesederhana itu.
***
Singkat cerita, lulus kuliah,
saya diterima bekerja di salah satu stasiun tv local di Surabaya. Selang
setahun bekerja, saya kepincut bikin usaha. Tak jauh jauhlah dari dagang.
Jualan nasi kepal kekinian, sego njamur. Keinginan membuka usaha ini tak
sampaikan sama ibu. Tanpa ba bi bu, blio mengiyakan plus modal hihi… sayapun
membeli franchise sego njamur dari mahasiswa ITS. Entah kenapa, Ibu semacam
selalu punya energy tambahan kala denger peluang usaha baru. Meskipun di awal
saya sempat ragu, tapi katanya, segala usaha punya resiko. Tak berani ambil
resiko, tak akan kemana mana. Suntikan energy itu yang kemudian membulatkan
tekad saya untuk memulai bisnis. Hasilnya?! Pailit. Saya bangkrut. Uang hasil
penjualan dibawa kabur penjaga warung yang sudah saya percaya. Marah?! Gak.
Sesekali ibu bertanya dan saya jelaskan. Setelah itu tak pernah bertanya lagi.
Padahal cicilan modal ke ibu baru dibayar 3 kali hihihi.
Bagi ibu, gagal itu pelajaran
yang luar biasa. Belajar segalanya. Mungkin dia tahu anaknya yang satu ini gak
suka penjelasan panjang lebar tentang usaha. Jalani, rasakan, belajar, gagal,
bangun lagi. Begitu mungkin logikanya. Tapi ya namanya manusia mosok gak ada
galau-galaunya. Ada, pasti. Saya belajar banyak sekali dari ibu. Blio orang
yang lihai mengatur mood. Kalau penat dengan pekerjaan rumah dan usahanya,
keluar. Ketemu sama temen-temenya di pengajian atau khataman Quran. Atau ketemu
dengan temen-temenya di organisasi. Ibu kebetulan aktif di muslimat. Mobilitasnya
sebagai emak-emak memang josss…
Begitulah caranya menghadapi
keruwetan hidup. Banyak masalah dalam hidup, tapi jauh lebih banyak cara untuk
menertawakannya. Keluar dan bersenang senanglah sesuai seleramu.
Selepas resign dari pekerjaan
sebagai detektif partikelir di salah satu stasiun tv local di Surabaya, saya
mulai merintis usaha. Ternyata, keinginan membuka usaha juga didukung lagi oleh
emak saya. Setelah mendapat lampu hijau dari suami, saya mulai berdagang
online. Cara ini sangat masuk akal saat itu, karena tak meninggalkan rumah. Kebetulan
anak saya juga butuh perhatian khusus.
Mendapat modal usaha dari suami,
mulailah saya membeli baju dari beberapa distributor, via online. Selang beberapa
waktu, Alhamdulillah saya kena tipu lagi. Uang sudah disetor, tapi barang tak
kunjung sampai. Akhirnya saya marah sama diri sendiri, teledor, grusa-grusu, gak pikir panjang dan
seterusnya dan seterusnya. Ditambah lagi akun facebook saya sebagai garda depan
penjualan, kena blokir om Mark. Lengkap sudah… setelah cerita ternyata pak
suami gak marah, malah bilang “kurang sedekahe”. Yasudah saya tertawa lagi. Menertawakan
diri sendiri yang mulai gak lucu.
Setelah menunggu cukup lama,
menunggu ada dana lagi hehe… saya mulai membuat pasar baru. Akun fb baru, fp
plus instagram untuk jualan. Kali ini saya mencoba mmebuat baju sendiri. Kebetulan
usaha konveksi ibu masih berjalan. Setelah mengungkapkan keinginan, seperti
yang sudah diduga, emak saya mengiyakan untuk bekerjasama. Kain yang saya beli
via online, saya kirim ke Tulungagung untuk dibuat model baju yang saya
contohkan. Tak banyak, awalnya cuma 2m dan laku. Ketagihan, saya putar modal
untuk membeli kain lebih banyak. Begitu seterusnya hingga sekarang.
Lebaran tahun ini memberi berkah
tersendiri. Dagangan laris manis kembang kimpul. Tapi tiba-tiba ibu saya
mengingatkan “dagangan laris ki cobo (cobaan). Kamu lebih milih keluarga apa
dagangan”. Jleb. Seketika saya mikir. Bentar aja, gak lama, trus dagang lagi
hehe…
Emak saya memang bukan lulusan
sarjana. Blio menamatkan sma kemudian menikah. Sekarang, diusianya yg lebih 40
tahun, ia memutuskan untuk sekolah lagi. Sampai sekarang. Mungkin itu adalah
salah satu cara memelihara mood diusianya. Belajar adalah cita-cita besarnya
sejak awal. Saya tahu, ibu adalah pelajar gaek. Dia banyak belajar dari
kehidupan. Semua orang mungkin bisa. Tapi yang mau menerapkan pelajaran yang
sudah didapat dengan konsisten dan ikhlas, bisa dihitung jari.
Pelajaran berharga dari emak saya
adalah, jangan takut melangkah. Diam membuatmu tak akan pernah kemana-mana. Semua
yang dilakukan dan diusahakan punya resiko masing-masing. Hadapi. Tak ada cara
menyelesaikan masalah dengan lari. Kalau jatuh, satu-satunya obat adalah
berdiri. Berjalanlah, cari pelipurmu sendiri. Dan yang terpenting, menunduklah.
Jalanmu ada di bawah. Dan akan selalu di bawah. Berhentilah mengeluh. Itu tak
akan merubah apapun. Terus bersyukur, tak ada yang membahagiakan dan melegakan
di dunia ini selain bersyukur.
Ibu saya tak pernah bicara
seperti itu dengan anak-anaknya. Tapi saya melihat, merasakan, mengamini,
kemudian mencoba mencontohnya. Belum semua. Masih jauh. Tapi bukankah kita
diberi kesempatan untuk terus belajar?! Apapun, dimanapun, kapanpun. Sehat terus
mak. Biar bisa terus jalan-jalan dan tertawa bersama.
Tidak ada komentar