gengsi minta maaf? begini caranya

Tidak ada komentar


Gengsi saya itu gede. Wkwkwk. Kata-kata pembukanya sedap betul. Iya betul. Ibu saya juga bilang begitu. Sifat ini awalnya membuat saya biasa saja. Selama gak ada orang yang tersakiti dengan sifat itu, gak papa dong. Tapi ternyata, dampaknya memang gak bisa serta merta. Apalagi untuk urusan meminta maaf. Selalu susah mulainya. 

Saat sudah berumah tangga, mengucapkan kata maaf itu gak sesimple ‘say it with flower’. Kalau dulu sih, masih bisa say sorry tapi dalam hati ‘ya sudahlah daripada rame’. Masih ada perasaan gak rela buat minta maaf, meskipun tahu itu salah saya hihihi. 

Sampai sekarangpun, meminta maaf buat saya masih gak gampang. Mungkin terbawa kebiasaan lama. Rasanya masih cukup berat buat ngomong satu kata ini. Maaf.


Eh ini pengalaman pribadi ya. Bisa jadi gak semua orang merasakannya. Cuma pengen sharing saja. Tentang minta maaf sama suami.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai belajar banyak. Urusan berkeluarga ini memang gak bisa simple. Seperti maaf, lalu bikin salah lagi. Ah, sudah bukan masanya begitu. Apalagi, tiap hari ketemu suami. Kalau lagi marah, suasana rumah jadi gak enak banget. Ditambah lagi kalau harus pura-pura bahagia di depan anak-anak. Hah! Gak enak blas!

Bagi saya, bukan soal besar kecil masalah yang ada, tapi bagaimana mengatasinya. Kecil kalau dibiarin lama-lama juga besar. Apalagi yang sudah gede yakan. Justru dari masalah yang kecil-kecil begitu saya bisa belajar ‘menurunkan’ gengsi untuk segera minta maaf.

Masalah yang kecil tu gimana? Yang gede seperti apa?. Silakan dijawab sendiri ya buibu. ‘Porsi’ masalah tiap rumah tangga beda-beda. Cara mengatasinya juga gak sama.

Nah, biasanya saya melakukan hal ini sebelum bener-bener bilang maaf ke suami.

Rajin masak
Sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar, memasak bisa membantu saya mengganti kata maaf buat suami. Masak yang enak (menurut saya hahaha). Yakan namanya usaha. Tell less cook more.

Beresin rumah
Saya biasanya beberes rumah agak heboh, buat minta maaf. Debu-debu yang nempel di perabot rumah dibersihkan. Biar licin kayak muka mbak Syahrini. Setrikaan yang numpuk, lempar ke laundry. Sortir mainan anak yang sudah rusak, lalu buang. Biar rumah gak kayak TPA Kalijodo. Beresin dapur, bersihin kamar mandi. Pokoknya, rumah bersih. Tidy house tidy mind.

Ngomong langsung
Ini pilihan terakhir kalau dua opsi lainnya gak jalan. Biasanya, lebih pada, si bapak lagi gak connect kode-kodean. Maunya langsung saja. Yasudah, saya minta maaf. Tapi, pake muqodimah dulu via wa. Basa basi dikit, terus minta maaf.

Bener lo, sesusah itu bilang langsung maaf buat saya. Duh, ini gengsi klo digadein bisa dapet logam mulia kayaknya.

Suami yang minta maaf
Adakalanya begini wkwkwkwkwwk. Jadi yang bikin salah siapa yang minta maaf siapa. Ini biasanya kalau saya juga gak mood kode kodean sama suami. Jadi, daripada rongseng, mending ya doi minta maaf duluan.

Mungkin sebagian orang bilang “Ribet amat sih tinggal bilang maaf doang”. Oh, kalau saya memang tidak semudah itu Marimar. Saya bahkan butuh waktu untuk bisa ‘cair’ lagi setelah fase minta maaf. Saya pikir, progressnya sudah lumayan sih daripada dulu-dulu. (Empowering myself) hehe.

Itu tadi cerita aneh keluarga saya yang baru berjalan 6 tahun. Masih pake kode. Meskipun tahu ini tak baik. Tapi, usaha boleh kan ya.

Buibu punya pengalaman juga tentang maaf memaafkan begini? Sharing yuk…

salam,





Tips Keluar dari Toxic Conversation Tanpa Konflik

8 komentar

Pernah kan ya, terjebak dalam obrolan yang gak kita sukai. Mau gak ditanggepin kok gak sopan. Mau nimbrung males. Pengen nge-cut, ogah berujung konflik. 


Berbeda dengan toxic circle, toxic conversation ini menurut saya lebih random. Bisa dimanapun, kapanpun, dengan siapapun. Gak cuma di 'ring satu' aja. Jika tidak lihai menghadapi ini, bisa jadi, 'penyakit'.

Iya donk, ngomongin orang itu addict lo. Itu kenapa banyak banget akun lambe-lambe yang bertebaran di sosial media. Pasar mereka banyak, luas, dari status sosial manapun. Tentu hukum ekonomi berputar. Ada permintaan, muncul penawaran. (sebuah analisis IRT yang kadang nimbrung  kesana buat hiburan). LOL

Oke, itu di dunia maya. Kalau di dunia nyata, bertebaran pula di sekitar kita, eh saya. Sebagai ibu rumah tangga, saya tentu pernah berada di situasi seperti ini. Ngobrol sama tetangga, pas arisan PKK, atau sekedar ngumpul sore-sore sama tetangga sebelah. Bisa juga di pasar atau ngumpul sama ibu-ibu wali murid pas nunggu anak pulang sekolah. Biasanya, akan ada nyrempet-nyrempet ke ‘sosok lain’ yang gak hadir disitu.

Baca juga: Tips Membagi Waktu Ala Ibu Rumah Tangga

Kadang memang, rasan-rasan ini punya beberapa 'fungsi' teknis. Seperti, bumbu basa basi pembuka obrolan, sisipan percakapan biar gak bosan. Tapi, ada juga yang memang hobi.

Nah, untuk yang hobi gini, agak susah klo sudah kecentok obrolan dengannya. Biasanya, dia sungguh lihai agar obrolannya gak di potong sama lawan bicara. Kalau sudah begini, saya biasanya melakukan hal-hal seperti ini

1. Cari topik lain
Ini kalau saya ngobrol berdua saja. Lebih banyak diam. Lalu, alihkan pembicaraan ke topik lain. Saya biasanya pilih topik anak-anak. Tentang perkembangan anak. Mulai kesehatan, kondisi sekolah, sampai sambat segala pernik rumah. Misalnya begini.

Ibu Y: "Eh, ngerti gak buk, bu X iku lo ternyata bla bla bla, pean ngerti gak beritae?"
Saya : "Oooooo.. gak ngerti aku"
Ibu Y: "Iyo kok. bla... bla...bla....."
Saya : "Eh, Sandi (anak ibu Y - bukan nama sebenarnya), sekolah dimana sekarang?"
Ibu Y: "SD XYZ, wes.... alhamdulillah bisa masuk....."

Ini pengalaman saya switch conversation.

2. Iya-in aja biar cepet
Ada juga yang ngomongnya lincah. Mrepet gak berhenti dan gak memungkinkan distop. Langkah paling aman, iya-in aja biar cepet. Barangkali, orang tersebut sebenarnya hanya ingin didengarkan. Tanpa butuh diinterupsi. Meskipun dia lagi ngomongin orang. Semacam curhat terselubung. Ada kan yang begini?!. Ada. Setelah itu, lanjut poin pertama. Cari topik lain. Mulut saya, musti lincah juga, biar dia gak bisa stop. Gantian donk!

3. Diam
Ini bisa dilakukan, kalau ngobrolnya rame-rame. Diem saja, sambil manggut-manggut, seolah olah paham. Bisa juga pura-pura lupa atau pura-pura pingsan, jika memungkinkan. Orang yang lagi ‘curhat’ gak merasa dicuekin. Sementara saya terselamatkan dari obrolan begina beginu. Dalam hal ini, diam adalah emas batangan.

4. Stop pembicaraan
Ini bisa dilakukan jika lawan obrolan saya dengan orang dekat. Adik atau kakak, atau saudara atau teman kental. Mereka-mereka ini biasanya sudah tahu watak dan perangai saya saat diajak ngomongin orang lain.
best friends never failed
“Lambene lambene…” (maksudnya jaga mulut). Begitu biasanya saya mennghentikan obrolan mereka ini. Terlihat gak sopan memang. Tapi bagi saya itu ekspresi kedekatan. Ingat, hanya untuk orang-orang terdekat. Yang kamu bisa kentut kenceng tapi mereka ketawa, sembari mengumpat. Hahaha.

Cara ini gak mungkin saya terapkan pada bu RT misalnya, atau tetangga yang lebih tua, saudara jauh, saudara ketemu gede, atau teman baru. Boro-boro tahu gimana kita, ketemu saja jarang. Apalagi kentut kenceng depan mereka ini. Dih!

Itu tadi tips dari saya ya buibu. Kita bisa memilih kok. Mau meneruskan guneman yang berfaedah, atau menghentikan obrolan yang gak ada manfaatnya.

Tapi, cara di atas, tidak bisa serta merta diterapkan di segala situasi kondisi. Ada pertimbangan kepada siapa kita berbicara. Saya memilih untuk melakukan hal di atas, alih-alih mengingatkan secara langsung. Seperti "Eh, jangan gosip dong". Kenapa?! Bisa jadi, tidak semua orang nyaman dengan obrolan 'singkat' seperti itu. Saya juga lebih suka menghindari konflik yang mungkin muncul dari percakapan-percakapan random seperti di atas.

Bagi saya, jika tujuannya baik, cara yang digunakan harusnya gak buruk atau menyakitkan. Saya tidak tahu bagaimana suasana hati lawan bicara saat itu. Itu sesuatu di luar kontrol saya. Jadi, saya lebih memilih mengendalikan diri saya sendiri dari obrolan toxic. Saya nyaman, lawan bicara juga oke.

Ini soal skill bermasyarakat. Gak ada di bangku sekolah. Kalau kamu pernah di situasi gini? Sharing donk…


Salam,





Tentang Passion versi IRT

4 komentar


Akhir-akhir ini, ngobrolin masalah passion lagi ngetren di media sosial. Beberapa influencer mulai mengemukakan pandangan mereka terkait ini. Pemilik akun financial planner juga gitu. Ikutan nimbrung di urusan passion.

Lalu saya? ikutan lah berpendapat. Biar kek rang orang. Hahay.

Passion? Apa itu? barangkali itu yang saya rasakan waktu baca ig storinya Samuel ray @srl789 seorang HR professional tentang ini. Atau @Jonathanend yang femes itu. Kerja sesuai passion atau nerusin aja kerjaan yang sekarang meskipun gak sesuai passion?. Keduanya hampir sama pendapatnya. Kerja dulu yang bener, passion baru ngikutin. Klo sudah kenal cicilan dan tagihan, bodo amatlah sama passion. Begitu kira-kira kesimpulan dari dua orang ini.

Sebagai ibu rumah tangga bertara(i)f internasional (wow), saya punya pendapat sendiri tentang ini. Bukan dalam posisi salah atau benar ya wahai netizen. Ini lebih pada konteks masing-masing. Karena tiap orang punya ‘takaran’ sendiri mengenai ini.

Ini cerita tentang perjalanan saya ‘mengejar passion’.

Waktu SMP, saya punya cita-cita jadi pramugari. Kayaknya keren gitu pramugari bisa ngomong English cas cus. Terbang kemana mana gratis. Muka cantik tanpa cela. Begitulah pandangan seorang anak SMP tentang pramugari.
catching my passion. LOL
sumber: jagad.id
Menginjak SMA, saya mulai gak tertarik dengan pramugari. Lebih pada, postur saya yang gak tinggi tinggi amat alias pendek hahaha. Sayapun mengurungkan diri untuk menjadi pramugari.

Waktu SMA saya sempat berjualan pin by order. Jadi pinnya tu gambarnya bisa request gitu. Saya edit pakai word waktu itu. Laku dong. Kemudian buka jasa pengetikan tugas waktu kelas 2 SMA. Soalnya punya komputer baru. Sayang kalau gak menghasilkan cuan hahaha. Laku juga. Tapi waktu itu gak sempet kepikiran “Kayaknya bakat ku jualan deh”. Bapak ibuku memang penjual. Bisnis konveksi waktu itu.

Masuk kuliah, saya ikut SPMB ambil jurusan Hubungan Internasional. Gak keterima. Masukklah di Sastra Inggris, Brawijaya. Ambil Diploma 3. Setahun kemudian nyoba SPMB lagi dengan jurusan HI. Masih ngincer ini. dan keterima di Universitas Jember. Disinilah saya ‘terjerumus’ di dunia tulis menulis.

Selepas kuliah, saya diterima sebagai Jurnalis tv di salah satu stasiun tv swasta di Surabaya. JTV. Sembari kerja, saya jualan. Jualan baju online via Toko Bagus waktu itu. Laku. Lumayan banyak. Setahun kemudian, saya coba peruntungan dengan bisnis francise. Sego Njamoer. Yang anak ITS pasti tahu ini. Sukses?! Gak. Bangkrut. Duit dibawa yang jaga. Dari sini, saya juga belum bisa bilang “Kayaknya, passionku jualan deh”. Melihat beberapa kali saya selalu tertarik berjualan meskipun sedang melakukan pekerjaan lain.

Selama bekerja, lambat laun saya mencintai dunia jurnalistik. Meskipun buta sama sekali dengan wilayah Surabaya, saya sangat menyukai pekerjaan ini. Macet, deadline, suara computer PC tua yang tutsnya gampang ngambek, bantuin talkshow, VO, dan pengalaman seru lainnya.

Dari sini, saya juga gak kepikiran buat bilang “Ini passionku”.

Dua tahun bekerja, saya resign. Memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Karena kehamilan pertama agak bermasalah.

Saya menjadi IRT, nyambi jualan baju via online. Sekarang, lagi asik menekuni dunia blog. Sampai disini, saya juga gak merasa“Passion saya disini deh kayaknya”.

Pati sudah banyak yang tahu dong tentang kalimat love what you do sebelum nemu do what you love? Mungkin itu yang saya rasakan sekarang. Saya bahkan agak ragu apakah memaknai passion itu hanya bentuk tunggal. Missal, passionku berdagang. Ya itu saja yang dilakukan. Atau, passionku menulis. Ya itu saja yang dilakukan. Menulis.

Atau, pekerjaan  yang sesuai passion itu kayak gini. Kita kerja pergi pagi pulang malem tapi gak berasa capek karena seneng. Apa ini namanya passion?! I don’t think so.  Ada lagi misalnya, pekerjaanku sebagai marketing. Ini sesuai passion, karena aku suka berkomunikasi dengan orang baru. It sounds weird. Asli. Saya juga belum ngeh betul sebenernya passion ini arahnya kemana sih?!

Saya lebih sreg dengan quote ini. Saya lupa ini punya siapa.
Doing what you like is freedom
Liking what you do is happinest

Maksud saya begini

Jika kamu eh saya bisa mengerjakan apa yang saya cintai, itu sungguh sebuah privilege yang patut disukuri. Tapi, jika saya dihadapkan pada liking what you do. Itu, sungguh membahagiakan.

Menulis di blog is doing what I like. Sedangkan menjadi ibu rumah tangga bagi saya adalah liking what I do. Dan keduanya, gak ada yang merugikan tuh.

Jadi, menurutku gak seteknis kerja aja dulu yang bener, passion dipikir nanti. Menurutku kok seperti ada yang memisahkan antara keduanya. Padahal, bisa lo disatukan. Bagi saya ini tentang cara berfikir. Dan menentukan bahagia versi kita sendiri. Bukan orang lain.

Eh, paham gak sih saya dari tadi ngomong apaan?! Hahaha… sekedar curhat.

Passionmu apa bu? sharing yuk